Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme
berawal dari zaman Yunani, khususnya dari kegiatan yang dilakukan oleh Socrates
yang kemudian dikenal dengan sebutan dialog Socrates. Socrates menyebarkan
hasil pemikirannya mengenai ketuhanan, manusia, politik dan lainnya dengan
dialog. Melalui pertanyaan yang diajukan Socrates, kebenaran disebarkan dan
kemudian dapat diterima oleh masyarakat saat itu. Teknik bertanya atau diskusi
tersebut dapat digunakan oleh guru dalam upaya membantu siswa mengkonstruksi
materi pembelajaran.
Pendekatan
konstruktivisme didasari oleh teori dari penelitian dalam ilmu perkembangan
manusia yang antara lain dilakukan oleh Piaget, John Dewey, Vygotsky dan
Brunner. Piaget meyakini bahwa manusia belajar melalui proses konstruksi satu
stuktur logika setelah stuktur logika lain dicapai. Artinya, manusia dapat
mempelajari sesuatu yang baru setelah sesuatu yang lain dipelajarinya.
Kemampuan
nalar anak dan cara pikirnya berbeda dengan cara pikir orang dewasa. Berikut
merupakan implikasi teori Piaget terhadap pendidikan menurut Schunk (2012:
336):
a.
Pahami perkembangan kognitif
Tahap
perkembangan kognitif siswa Sekolah Dasar berada pada tahap operasional
kongkrit. Pada tahap ini perkembangan bahasa dan penguasaan keterampilan dasar
anak bertambah cepat secara dramatis. Siswa mulai menunjukkan beberapa
pemikiran abstrak meskipun biasanya didefinisikan dengan karakter-karakter atau
tindakan-tindakan. Contohnya konsep kejujuran adalah mengembalikan uang kepada
orang yang kehilangan uang tersebut.
b.
Jaga agar siswa tetap aktif
Siswa
membutuhkan lingkungan yang kaya akan kesempatan untuk bereksplorasi secara
aktif. Keterlibatan tersebut dapat menunjang konstruksi aktif terhadap
pengetahuan siswa.
Contoh
kegiatannya seperti melakukan diskusi atau memberikan tugas terstuktur yang harus
dikerjakan siswa.
c.
Ciptakan ketidaksesuaian
Ketidaksesuaian
dapat diciptakan dengan memberikan soal atau pertanyaan. Contoh pertanyaannya
seperti “mobil dapat bergerak, apakah mobil termasuk dalam makhluk hidup?”
d.
Memberikan interaksi social
Lingkungan
sosial merupakan sumber utama pembelajaran IPS. Manfaat interaksi social
diantaranya akan menyadari sudut pandang yang berbeda, sehingga dapat membantu
anak untuk tidak egosentris.
Sejalan
dengan Piaget, Dewey meyakini bahwa pembelajaran dilakukan melalui pengalaman
nyata (real exsperiences). Pandangan Vygotsky yang memfokuskan pada
interaksi dari faktor interpersonal (sosial) kultural-historis dan individual
sebagai kunci dari perkembangan siswa. Artinya melalui pengalaman dan interaksi
sosial, siswa dapat membangun pengetahuan mereka.
Brunner
menekankan bahwa belajar merupakan proses aktif mengkonstruksi atau menyusun
pengetahuan yang baru dengan didasari atas pengetahuan yang telah
dipelajarinya. Berikut merupakan prinsip pembelajaran berdasarkan pandangan
Brunner (Mulyani, 2009: 28):
- Pembelajaran
harus berhubungan dengan pengalaman serta konteks lingkungan siswa
sehingga dapat mendorong siswa untuk belajar.
- Pembelajaran
harus terstuktur, siswa belajar dari materi yang sederhana menuju materi yang
kompleks.
- Pembelajaran
harus disusun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk
melakukan eksplorasi sendiri dalam mengkonstruksi pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa pendekatan
konstruktivisme merupakan sebuah perspektif psikologis dan filosofis yang
memandang bahwa setiap individu dapat membentuk pengetahuan baru berdasarkan
pengetahuan awal yang dimilikinya.
Oleh karena itu, diyakini bahwa
pengetahuan tidak diberikan secara langsung oleh pendidik. Dalam memfasilitasi
siswa membangun pengetahuan yang baru, guru dituntut untuk memberikan
pengalaman pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran yang
menuntut siswa dalam berinteraksi social merupakan faktor penunjang siswa dapat
mengkonstruksi pengetahuan.
Konstruktivisme memiliki persamaan
dan perbedaan dengan pendekatan lainnya. Berikut merupakan asumsi-asumsi
pendekatan konstruktivisme (Schunk, D H, 2015: 232):
- Pendekatan konstruktivisme
bertentangan dengan teori pengondisian yang menitikberatkan pengaruh
lingkungan terhadap individu. Sebaliknya konstruktivisme senada dengan
asumsi teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa orang, perilaku, dan lingkungan
berinteraksi secara timbal balik.
- Pendekatan konstruktivisme
memberikan pengaruh terhadap kurikulum dan pembelajaran. Pendekatan ini
menekankan pada pembelajaran terpadu di mana siswa dapat mempelajari satu
tema dari beberapa perspektif atau mata pelajaran.
- Pendekatan ini mendorong agar
guru tidak menyampaikan materi secara langsung seperti menggunakan
pendekatan ekspositoris. Guru sebaiknya merancang pengalaman belajar agar
siswa dapat aktif berinteraksi dengan lingkungan, sehingga siswa dapat membangun
pengetahuan sendiri.
Berbeda dengan pembelajaran
tradisional yang berpusat kepada guru, pendekatan konstruktivisme menekankan
pada kegiatan pembelajaran yang menuntut keaktifan siswa dalam membangun
pengetahuan dan keterampilan yang baru secara efektif. Penilaian yang digunakan
adalah penilaian autentik, penilaian yang berorientasi pada proses pembelajaran
seperti melalui observasi dan portofolio.
Berikut merupakan prinsip-prinsip
pendekatan konstruktivisme menurut Brooks dan Brooks (Schunk, 2012: 366):
a. Menghadirkan masalah yang semakin
kuat relevansinya kepada siswa
Prinsip pertama adalah guru
menghadirkan masalah yang memiliki relevansi untuk siswa. Kegiatan ini
dilakukan dengan cara guru menyusun pertanyaanpertanyaan yang menantang
konsepsi-konsepsi awal siswa. Relevansi tidak dibangun dengan ancaman tes,
tetapi menstimulus ketertarikan dan membantu siswa menemukan bagaimana masalah
yang dihadapi dapat mempengaruhi hidup mereka.
b. Menyusun pembelajaran seputar
konsep pokok
Guru merancang aktivitas siswa yang
mendorong penyajian konsep secara holistik bukan terpisah. Kemampuan melihat
gambaran keseluruhan dapat membantu memahami bagian-bagiannya. Pembelajaran ini
dapat dilakukan dengan pendekatan tematik terpadu.
c. Mencari tahu dan menghargai sudut
pandang siswa
Guru harus mengajukan pertanyaan,
menghidupkan diskusi, dan mendengarkan apa yang siswa katakan.
d. Mengadaptasikan kurikulum untuk
memperhatikan asumsi-asumsi siswa
Ketika siswa menjawab pertanyaan
dengan kurang tepat, pendekatan konstruktivisme tidak menyarankan guru untuk
mengoreksi jawaban siswa. Pendekatan ini menekankan siswa untuk menemukan
informasi apakah asumsi yang diberikan siswa benar atau salah. Ketika jawaban
siswa salah atau kurang tepat, guru dapat memberikan pertanyaan lanjutan yang
lebih sederhana dan menuntun siswa mengoreksi jawabannya sendiri.
e. Menilai pembelajaran siswa dalam
konteks pengajaran
Penilaian dilakukan secara langsung
ketika proses pembelajaran dan secara berkelanjutan. Penilaian autentik
merupakan salah satu penilaian yang dipandang cocok digunakan dalam
pembelajaran. Pembelajaran berorientasi pada proses bukan pada hasil.