Komplikasi Yang Dapat Terjadi Pada Pemberian Transfusi Darah

Banyak kesalahan yang terjadi pada saat perawat memberikan transfusi darah ke klien. Kesalahan ini berupa kesalahan pengambilan sampel untuk pemeriksaan, kesalahan dalam memberikan label, kesalahan yang bersifat teknis ataupun kesalahan akibat kurangnya pemahaman perawat dalam memilih komponen darah yang sesuai dengan spesifikasi.

Komplikasi Yang Dapat Terjadi Pada Pemberian Transfusi Darah

Kesalahan juga sering terjadi pada situasi sibuk, dimana jumlah perawat lebih sedikit dibandingkan jumlah klien. Ditambah lagi situasi kerja di ruangan yang under pressure sehingga fokus perhatian perawat untuk melakukan pengecekan darah secara detail sebelum pemberian transfusi menjadi berkurang.

Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak dilakukan secara sengaja ini dapat mengurangi keselamatan klien dalam menjalani proses transfusi sehingga banyak sekali reaksi efek samping dari transfusi yang pada akhirnya harus ditanggung oleh klien.

Komplikasi Yang Dapat Terjadi Pada Pemberian Transfusi Darah

1. Reaksi hemolitik
Secara umum ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun (immune mediated hemolysis) dan non-imun (non-immune mediated hemolysis).

Reaksi hemolitik yang disebabkan oleh proses imun terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion reaction, AHTR) dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction, DHTR), sedangkan reaksi hemolitik lain yang dapat terjadi selama atau setelah transfusi lebih dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik (pseudo-hemolytic transfusion reaction)

a. Reaksi hemolitik akut
Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi, AHTR merupakan masalah yang sangat serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat cepat (kurang dari 24 jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan donor (crossmatch). Sebagian besar terjadi pada saat transfusi whole blood (WB) atau packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor VIII nonrekombinan. Angka kejadian diperkirakan 1 : 250 000 - 600 000. Reaksi hemolitik ini adalah reaksi transfusi yang paling berat yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO. Inkompatibilitas ABO dapat terjadi akibat antibodi yang didapat secara alami bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravascular. Manifestasi klinis yang dapat terjadi akibat inkompatibilitas ABO antala lain demam, menggigil, kemerahan, nyeri pada punggung bagian bawah, takikardi dan hipotensi, kolaps pembuluh darah sampai henti jantung.

b. Reaksi hemolitik lambat
Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6.000 sampai 33.000.

DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa.

Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit.

c. Reaksi Pseudohemolitik
Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan reaksi hemolitik lain yang terjadi pada darah donor selama atau setelah transfusi diberikan, yang bukan merupakan reaksi transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama dengan reaksi hemolitik akibat reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik dapat berhubungan dengan proses imun maupun non-imun. Pada reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dijumpai reaksi yang compatible pada pemeriksaan crossmatch dan DAT yang negatif.

Beberapa reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme sebagai berikut:
➤ Trauma suhu
Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan terlalu panas atau masih terlalu dingin. Eritrosit tidak boleh terpapar dengan temperatur melebihi 40°C karena suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran eritrosit sehingga mengubah viskositas, ketidakstabilan, perubahan bentuk dan permeabilitas, serta gangguan osmotik. Eritrosit yang telah pecah akibat panas akan dibersihkan dari sirkulasi oleh limpa. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Standar darah yang dapat diberikan adalah darah yang hangat (sekitar 38°C).

Paparan darah pada temperatur kurang dari 10°C per menit tanpa cryoprotective agent (seperti gliserol) dapat mengakibatkan trauma dehidrasi (dehydration injury) pada pasien. Namun, temperatur lebih dari 10°C per menit akan mengakibatkan kerusakan pada membran eritrosit oleh kristal es. Pada temperatur yang terlalu dingin, reaksi hemolitik dapat terjadi sebelum dilakukan transfusi, dan ini dapat dideteksi dari perubahan warna pada isi kantong darah.

➤ Trauma osmotik
Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik yang dapat mengakibatkan proses hemolitik secara cepat. Degliserolisasi eritrosit (degliserolized red blood cell) yang tidak adekuat dapat mengakibatkan hemolitik karena tekanan osmotik yang lebih rendah (hypotonic solutions) di intravaskular pada saat transfusi. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini, cairan harus tetap isotonis. Setiap kantong darah yang berisi eritrosit, harus mengandung cairan salin normal, ABO-compatible plasma, dan albumin 5%.

Eritrosit tidak dapat dicampur dengan obat-obatan dan beberapa cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%, dekstrosa 5% dalam salin normal 0,225%, dan dekstrosa 5% dalam salin normal 0,45%. Ringer laktat juga tidak dapat ditambahkan pada eritrosit sebab kalsium yang dijumpai pada cairan ini akan bereaksi dengan senyawa sitrat yang merupakan antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan darah di dalam kantong darah. Oleh karena itu pemberian cairan sebelum dilakukan transfusi haruslah diperhatikan. Pemberian cairan hipotonis dapat mengakibatkan reaksi hemolitik intravaskular

➤ Trauma mekanik
Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama proses transfusi oleh karena trauma mekanik seperti saat darah melewati jarum yang terlalu kecil, selang infus yang terlipat, dan adanya penekanan mekanik. Reaksi hemolitik juga dapat disebabkan oleh trauma mekanik pada pembuatan katup jantung dalam operasi jantung, pada tindakan hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau cytapheresis. Gejala dan tanda klinis reaksi hemolitik akibat trauma mekanik mirip dengan AHTR

➤ Kontaminasi mikroba
Sekitar 0,1- 0,3% darah terkontaminasi saat dikumpulkan dari donor. Kondisi yang berbeda antara proses penyimpanan dan proses transfusi serta kemampuan mikroorganisme untuk dapat hidup pada kondisi tersebut merupakan faktor risiko terjadinya reaksi hemolitik dan sepsis setelah transfusi. Kejadian ini diperkirakan 1 dari 1,5 juta kasus pasien yang mendapat transfusi. Walaupun pada kultur darah tidak dijumpai pertumbuhan bakteri, kontaminasi mikroba masih dapat terjadi jika unit kantong darah mengandung partikel atau bekuan darah, ada perubahan warna dan/atau ada udara.
Pasien yang ditransfusi dengan darah yang terkontaminasi mikroba dapat menunjukkan gejala dan tanda AHTR, seperti demam, menggigil, hipotensi, takikardia, dan hemoglobinuria. Meskipun kejadianny jarang, transfusi darah yang terkontaminasi protozoa malaria dapat menunjukkan gejala demam dalam beberapa hari sampai minggu seperti pada DHTR. Jika dicurigai darah yang diberikan telah terkontaminasi mikroba saat diberikan, maka transfusi harus segera dihentikan, dilakukan pemantauan kondisi klinis pasien, evaluasi kantong darah yang terkontaminasi bakteri, dicatat, dan diberitahukan kepada UTD

➤ Anemia hemolitik kongenital
Eritrosit donor yang diberikan kepada penderita anemia hemolitik kongenital, dapat mengalami reaksi hemolitik yang mirip dengan AHTR atau DHTR. Anemia hemolitik kongenital yang sering dijumpai adalah akibat glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency. Pada defisiensi G6PD, eritrosit donor akan mengalami lisis jika terpapar zat yang menyebabkan oxidant stress. Beberapa Zat yang Bersifat Oxidant Stress pada Defisiensi G6PD15, antara lain:
o Acetanilid
o Phenylhydrazine
o Furazolidone
o Primaquine
o Isobutyl nitrite
o Sulfacetamide
o Nalidixic acid
o Sulfamethoxazole
o Naphtalene
o Sulfapyridine
o Niridazole
o Thiazolesulfone
o Nitrofurantoin
o Trinitrotoluene
o Phenazopyridine
o Urate Oxidase (TNT)

2. Reaksi infeksi
a. Hepatitis
Hepatitis A bukan penyakit yang dikaitkan dengan transfusi. Uji untuk anti gen permukaan hepatitis B (HBsAg) selalu harus dikerjakan. Sebagian besar kasus hepatitis non-A ,non-B disebabkan oleh infeksi hepatitis C . Uji penyaringan anti bodi terhadap virus hepatitis C (anti-HCF) di mulai di Inggris pada tahun 1991. Riwayat ikterus (hepatitis) bukan indikator kemungkinan pembawa virus hepatitis yang dapat diandalkan

b. Penularan malaria melalui transafusi sel darah merah merupakan masalah yang dapat berakibat serius di Inggris. Pencegahan tergantung pada wawancara dengan donor secara  cermat,tentang perjalanan keluar negeri, penundaaan pendonoran, oleh mereka yang baru saja mengunjungi daerah endemis penyakit tertentu, dan dalam beberapa kasus, uji imunologis untuk anti bodi malaria. 

c. Virus imunodefisiensi manusia (HIV 1 dan 2) jarang ditularkan melalui transfusi di Inggris, namun demikian tetap merupakan keprihatinan utama masyarakat, walaupun penyaringan semua pendonoran telah dilakukan sejak 1985. Uji gabungan untuk antibody terhadap HIV 1 dan 2 digunakan pada penyaringan donor. Uji tersebut harus bersifat pelengkap, supaya tidak mengambil darah dari mereka yang dicurigai telah berisiko terkena infeksi, sehingga menghindarkan penggunaan darah yang didonorkan pada saat stadium awal infeksi, ketika uji penyaringan laboratorium dapat memberikan hasil negatif.

d. Sifilis lebih menimbulkan persoalan teoritis daripada masalah praktisnya, dan donor tidak ditanyakan secara spesifik tentang infeksi yang terjadi sebelumnya. Penyaringan rutin pendonoran darah masih terus dijalankan, walaupun mungkin lebih berguna untuk deteksi orang-orang berisiko. infeksi penyakit akibat hubungan seks (termasuk HIV) daripada untuk pencegahan penularan sifilis.

e. Agen infektif lain dapat menjadi bahaya bagi resipien tertentu, sebagai contoh, sitomegalovirus pada penderita yang terimunosupresi. Dindikasikan supaya penyaringan pendonoran secara selektif dilakukan sebelum transfusi, karena riwayat kesehatan tidak membantu dalam penyeleksian donor yang “aman”.