Asma adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai inflamasi saluran napas dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini menyebabkan produksi mukus yang berlebihan dan menumpuk, penyumbatan aliran udara, dan penurunan ventilasi alveolus.
Asma terjadi pada individu tertentu yang berespon secara agresif terhadap berbagai jenis iritan di jalan napas. Faktor risiko untuk salah satu jenis gangguan hiper-reponsif ini adalah riwayat asma atau alergi dalam keluarga, yang mengisyaratkan adanya kecenderungan genetik.
Gejala
a. Dispnea yang bermakna.
b. Batuk, terutama di malam hari.
c. Pernapasan yang dangkal dan cepat.
d. Mengi yang dapat terdengar pada auskultasi paru. Biasanya mengi terdengar hanya saat ekspirasi, kecuali kondisi pasien parah.
e. Peningkatan usaha bernapas, ditandai dengan retraksi dada, disertai perburukan kondisi, napas cuping hidung.
Prinsip terapi
Langkah pertama dalam pengobatan adalah mengevaluasi derajat asma yang di derita individu. Asma dibagi dalam empat stadium, bergantung pada frekuensi gejala dan frekuensi penggunaan obat yang dibutuhkan untuk meredakan gejala. Stadium asma, yaitu
(1) ringan dan intermiten,
(2) ringan dan persisten,
(3) moderat atau sedang, dan
(4) berat. Tetapi yang diberikan berdasarkan stadium asma yang diderita pasien.
Untuk keempat stadium asma, pencegahan terpajan allergen yang telah diketahui adalah tindakan yang penting. Tindakan ini termasuk barang-barang di rumah yang di ketahui memicu alergi seperti mengeluarkan binatang peliharaan, jika perlu menghindari asap rokok dan asap kayu yang terbakar, dan penggunaan air conditioner untuk meminimalkan membuka jendela, terutama selama musim saat udara mengandung banyak serbuk sari.
Pemantauan laju peak flow yang sering, terutama selama insiden asma meningkat. Jika terpantau penurunan laju peak flow yang signifikan, penambahan intervensi farmakologis harus diberikan sesegera mungkin bukan ditunda sampai serangan terjadi sehingga dapat menghambat kemajuan penyakit.
Kemajuan penting dalam pencegahan dan pengobatan serangan asma adalah pemakaian kortikosteroid oral atau inhalasi di awal periode serangan atau sebagai terapi pencegahan. Kortikosteroid bekerja sebagai agents anti-inflamasi yang paten. Demikian juga, obat-obat inhalasi yang menstabilkan sel mast digunakan untuk mencegah serangan asma. Efek dari obat yang diinhalasi ini tampaknya terbatas di sistem pernapasan, sehingga obat-obat tersebut aman dan efektif untuk menangani asma. Karena asma merupakan penyakit yang progresi, mempertahankan program terapi sangat penting bahkan pada periode di antara episode serangan asma.
Baca Juga : Dampak polusi udara pada sistem pernapasan
Bronkodilator yang bekerja sebagai penstimulasi reseptor beta adrenergik di jalan napas (agonis beta) merupakan terapi asma yang utama. Obat ini diinhalasi (atau diberikan dalam bentuk sirup pada anak yang masih sangat kecil) pada saat awitan serangan dan di antara serangan sesuai kebutuhan. Bronkodilator tidak menghambat respon inflamasi sehingga tidak efektif jika digunakan secara tunggal selama eksaserbasi asma sedang atau buruk, penggunaan terlalu sering atau pengguanaan tunggal bronkodilator menyebabkan angka kematian yang bermakna. Saat ini telah tersedia agnosis beta adrenergik jangka panjang yang dapat menurunkan penggunaan inhaler yang sering pada beberapa pasien.
Kombinasi produk yang mengandung kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan agnosis beta-2 lepas lambat tampaknya memperbaiki tingkat kepatuhan dan menurunkan eksaserbasi.
Agnosis-beta juga dapat digunakan sebelum olahraga pada individu pengidap asma yang dipicu aktivitas fisik berat.
Baca Juga : Contoh Soal Sistem Pernapasan Pada Manusia
Meskipun poten dalam terapi pencegahan dan pengobatan asma dan alergi, kortikosteroid tidak memberi efek sintesis dan pelepasan leukotrien. Leukotriene adalah produk metabolism asam arakidonat dan berperan dalam proses inflamasi. Produk leukotrien dapat dicegah dengan penggunaan inhibitor 5- lipoksigenase (zileuton) atau dengan menghambat reseptor leukotrien spesifik menggunakan leukotriene receptor antagonist (LTRA) seperti montelukast atau zafirlukast. Menifestasi obat LTRA memiliki sifat bronkodilator dan anti inflamasi, serta mungkin digunakan untuk menunjang kortikosteroid.
Obat antikolinergik dapat diberikan untuk mengurangi efek parasimpatis sehingga melemaskan otot polos bronkiolus. Akan tetapi, obat ini memiliki rentang keamanan terapeutik yang sempit sehingga jarang digunakan dalam praktik umum.
Intervensi perilaku, yang ditujukan untuk menenangkan pasien agar stimulus perasimpatis ke jalan napas berkurang, juga merupakan tindakan yang penting. Jika individu berhenti menangis akan memungkinkan aliran udara yang lambat dan sempat dihangatkan, sehingga rangsangan terhadap jalan napas berkurang.
Asma terjadi pada individu tertentu yang berespon secara agresif terhadap berbagai jenis iritan di jalan napas. Faktor risiko untuk salah satu jenis gangguan hiper-reponsif ini adalah riwayat asma atau alergi dalam keluarga, yang mengisyaratkan adanya kecenderungan genetik.
Gejala
a. Dispnea yang bermakna.
b. Batuk, terutama di malam hari.
c. Pernapasan yang dangkal dan cepat.
d. Mengi yang dapat terdengar pada auskultasi paru. Biasanya mengi terdengar hanya saat ekspirasi, kecuali kondisi pasien parah.
e. Peningkatan usaha bernapas, ditandai dengan retraksi dada, disertai perburukan kondisi, napas cuping hidung.
Prinsip terapi
Langkah pertama dalam pengobatan adalah mengevaluasi derajat asma yang di derita individu. Asma dibagi dalam empat stadium, bergantung pada frekuensi gejala dan frekuensi penggunaan obat yang dibutuhkan untuk meredakan gejala. Stadium asma, yaitu
(1) ringan dan intermiten,
(2) ringan dan persisten,
(3) moderat atau sedang, dan
(4) berat. Tetapi yang diberikan berdasarkan stadium asma yang diderita pasien.
Untuk keempat stadium asma, pencegahan terpajan allergen yang telah diketahui adalah tindakan yang penting. Tindakan ini termasuk barang-barang di rumah yang di ketahui memicu alergi seperti mengeluarkan binatang peliharaan, jika perlu menghindari asap rokok dan asap kayu yang terbakar, dan penggunaan air conditioner untuk meminimalkan membuka jendela, terutama selama musim saat udara mengandung banyak serbuk sari.
Pemantauan laju peak flow yang sering, terutama selama insiden asma meningkat. Jika terpantau penurunan laju peak flow yang signifikan, penambahan intervensi farmakologis harus diberikan sesegera mungkin bukan ditunda sampai serangan terjadi sehingga dapat menghambat kemajuan penyakit.
Kemajuan penting dalam pencegahan dan pengobatan serangan asma adalah pemakaian kortikosteroid oral atau inhalasi di awal periode serangan atau sebagai terapi pencegahan. Kortikosteroid bekerja sebagai agents anti-inflamasi yang paten. Demikian juga, obat-obat inhalasi yang menstabilkan sel mast digunakan untuk mencegah serangan asma. Efek dari obat yang diinhalasi ini tampaknya terbatas di sistem pernapasan, sehingga obat-obat tersebut aman dan efektif untuk menangani asma. Karena asma merupakan penyakit yang progresi, mempertahankan program terapi sangat penting bahkan pada periode di antara episode serangan asma.
Baca Juga : Dampak polusi udara pada sistem pernapasan
Bronkodilator yang bekerja sebagai penstimulasi reseptor beta adrenergik di jalan napas (agonis beta) merupakan terapi asma yang utama. Obat ini diinhalasi (atau diberikan dalam bentuk sirup pada anak yang masih sangat kecil) pada saat awitan serangan dan di antara serangan sesuai kebutuhan. Bronkodilator tidak menghambat respon inflamasi sehingga tidak efektif jika digunakan secara tunggal selama eksaserbasi asma sedang atau buruk, penggunaan terlalu sering atau pengguanaan tunggal bronkodilator menyebabkan angka kematian yang bermakna. Saat ini telah tersedia agnosis beta adrenergik jangka panjang yang dapat menurunkan penggunaan inhaler yang sering pada beberapa pasien.
Kombinasi produk yang mengandung kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan agnosis beta-2 lepas lambat tampaknya memperbaiki tingkat kepatuhan dan menurunkan eksaserbasi.
Agnosis-beta juga dapat digunakan sebelum olahraga pada individu pengidap asma yang dipicu aktivitas fisik berat.
Baca Juga : Contoh Soal Sistem Pernapasan Pada Manusia
Meskipun poten dalam terapi pencegahan dan pengobatan asma dan alergi, kortikosteroid tidak memberi efek sintesis dan pelepasan leukotrien. Leukotriene adalah produk metabolism asam arakidonat dan berperan dalam proses inflamasi. Produk leukotrien dapat dicegah dengan penggunaan inhibitor 5- lipoksigenase (zileuton) atau dengan menghambat reseptor leukotrien spesifik menggunakan leukotriene receptor antagonist (LTRA) seperti montelukast atau zafirlukast. Menifestasi obat LTRA memiliki sifat bronkodilator dan anti inflamasi, serta mungkin digunakan untuk menunjang kortikosteroid.
Obat antikolinergik dapat diberikan untuk mengurangi efek parasimpatis sehingga melemaskan otot polos bronkiolus. Akan tetapi, obat ini memiliki rentang keamanan terapeutik yang sempit sehingga jarang digunakan dalam praktik umum.
Intervensi perilaku, yang ditujukan untuk menenangkan pasien agar stimulus perasimpatis ke jalan napas berkurang, juga merupakan tindakan yang penting. Jika individu berhenti menangis akan memungkinkan aliran udara yang lambat dan sempat dihangatkan, sehingga rangsangan terhadap jalan napas berkurang.